Jiwa Suporter

Saya percaya, bahwa di dunia tak ada 'hil yang mustahal' (meminjam pernyataan terkenal komedian Asmuni). Tak ada yang muskil. Setiap orang sanggup ditindas, sanggup dipaksa secara kasat mata, namun tidak ada yang sanggup memaksa proses komunikasi. Tindakan komunikatif, itulah resep filsuf Jurgen Habermas, yang saya kira sanggup digunakan untuk mendamaikan golongan suporter yang berseteru.

'Communicative action' tak selamanya memerlukan tugas aparatus negara. Kehadiran aparatus negara bukan jaminan suatu 'communicative action' berlangsung di antara dua golongan yang berseteru. Kita sudah lihat banyak teladan bagaimana ikrar perdamaian yang dijalankan di rumah makan atau di kantor polisi, dengan didatangi pejabat-pejabat pemerintah atau keselamatan justru tak menciptakan apapun selain kertas yang ditandatangani bersama.


'Communicative action' justru sanggup hadir selaku bab dari kebijaksanaan lokal, kesempatan berdikari penduduk sipil. Dan untuk itu, kita sanggup menuntut ilmu dari Kabupaten Jember, Jawa Timur, dan Kota Solo, Jawa Tengah, dalam urusan perdamaian suporter.

Jember selama ini ialah salah satu kota basis mempunyai pengaruh Bonek di ujung timur Jawa. Para Bonek ini rata-rata yakni penduduk orisinil Jember. Dan salah satu basis Bonek ada di Kecamatan Semboro, tempat kelahiran Andik Vermansyah, pemain binaan Persebaya. Saat Persebaya berulang tahun 18 Juni 2011 lalu, ratusan Bonek berkonvoi dan mengerjakan tasyakuran di Semboro.

Di lain pihak, di Jember ada pula Aremania yang berkembang belakangan, utamanya sehabis Arema Malang menjadi juara Liga Indonesia. Kehadiran dua golongan suporter yang selama ini berselisih tersebut mempunyai potensi menimbulkan gesekan. Namun, selama ini tidak terdengar adanya bentrokan besar antara Bonek dan Aremania di Jember. Padahal, di jalan-jalan di Jember, gampang dijumpai warga setempat memakai kaos hijau Bonek dan kaos biru Aremania saling berpapasan.

Tak adanya ukiran antara Bonek dan Aremania di Jember tak lepas dari tugas Berni (Jember Brani), golongan suporter kesebelasan Persid. Berni memang mencakup masih muda selaku golongan suporter. Namun Bonek dan Aremania di Jember menghormati golongan suporter yang diketuai Agus Rizky ini.

Ada upaya komunikatif yang dijalankan Berni, yang jauh dari niatan formalistis belaka. Tokoh Berni bersedia menemui pentolan Bonek dan Aremania di Jember. Dengan pendekatan hati ke hati, dua golongan suporter itu diminta ikut mempertahankan perdamaian dan persahabatan di Jember, tanpa mengunggulkan atau menjatuhkan salah satu jelompok. "Hasilnya, Bonek dan aliansi suporter lain sanggup berdampingan sarat persaudaraan di sini," kata Agus.

Saat Ribuan Bonek mengerjakan tret-tet-tet atau perjalanan bertengkar tandang ke Bali dalam Liga Primer Indonesia 2011 silam, tak ada kerusuhan kala melalui Jember. Bahkan, dalam pantauan beritajatim.com kala itu, di saat menyambut rombongan pertama Bonek yang naik kereta api, para suporter Berni tidak diiringi pegawanegeri kepolisian sama sekali. Pengamanan murni dijalankan para anggota Berni.

Suporter Jember juga bahwasanya mengadakan agresi solidaritas dan unjuk rasa kepada PT Kereta Api Indonesia. Mereka memportes penganiayaan kepada Ryan Bachtiar, Bonek Jember asal Gebang, yang dijalankan oleh oknum polisi khusus kereta api. Saat itu, Wardoyo Achmad, salah satu pentolan suporter Jember, juga ikut mendampingi keluarga Ryan dalam rapat dengar nasehat dengan DPRD setempat. Ini salah satu yang menciptakan Bonek di Jember segan kepada Berni. Keseganan itu pada kesudahannya menjadi salah satu bagian perdamaian.

"Apabila semua tempat penyangga sanggup aman menyerupai di Jember, setidaknya itu akan kian melemahkan dan bahkan memadamkan perseteruan golongan suporter. Setelah itu, barulah para pemimpin utama golongan suporter yang berselisih dipertemukan. Makara solusinya penyelesaian dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah," kata Agus lagi.

Agus sudah usang mengenal golongan suporter Bonek. Menurutnya, para sesepuh suporter asal Surabaya itu tak cuma memaknai Bonek selaku nama suporter, namun juga semangat. "Semangat kepemilikan, semangat kebanggaan, dan semangat kebersamaan yang tertanam pada diri Bonek sudah mendarah daging, sudah merasuk ke tulang sumsum," katanya.

Agus mengakui, persebaran komunitas suporter Persebaya cukup luas di Jawa Timur dan bahkan Indonesia. "Mereka bukan cuma orang Surabaya, bukan cuma orang Jawa Timur," katanya. Mereka disatukan oleh semangat sanjungan dan kebersamaan tadi.

Dalam persepsi Agus, semangat Bonek ini tidak sanggup tidak boleh dengan gerakan-gerakan kontra lahiriah semata, alasannya cuma akan menciptakan api semangat itu kian membara. "Dan ini sanggup berlanjut dengan timbulnya mata rantai permusuhan yang tidak berkesudahan dari generasi ke generasi," jelasnya.

Pria yang juga dijuluki 'Om San Liong' ini mengakui, penguasa memang menjajal memfasilitasi perdamaian Bonek dengan suporter klub sepakbola lain yang berseteru. Namun ia menyayangkan, perdamaian tersebut gres sebatas di antara para pemimpin suporter. "Tanpa mengajak tugas serta arus bawah, maka hasilnya tidak akan menyerupai yang diharapkan bersama. Gesekan masih terjadi, dan bahkan berakibat kematian," kata Agus.

Proses perdamaian suporter akan lebih mudah, lanjut Agus, jikalau tidak diikuti dengan kepentingan politik golongan lain di luar suporter. "Biarkan mereka menyelesaikan dengan jiwa suporter masing-masing," katanya.

'Menyelesaikan dengan jiwa suporter' sebagaimana dibilang Agus yang menciptakan Bonek dan Pasoepati Solo sanggup berdamai. Tahun 2010, media massa menyuguhkan kepala pemberitahuan (headlines) wacana perang watu antara Bonek dengan suporter dan warga Solo di perlintasan kereta api. Saat itu tak cuma batu. Bom molotov pun juga ikut berhamburan. Untunglah tak ada korban jiwa.

Namun setahun kemudian, Bonek dan Pasoepati sanggup berdamai, yang kali ini, tidak ada media massa utama yang menyebabkan headline dan pemberitahuan besar. Perdamaian Bonek dan Pasoepati sama sekali tanpa intervensi negara dan dijalankan berdikari oleh suporter.

Sejumlah perwakilan Bonek menemui sesepuh Pasoepati di Solo. Cinta tak bertepuk sebelah tangan, alasannya Pasoepati pun ternyata memang tengah berusaha mengerjakan perdamaian dengan Bonek. Sebuah pohon mundu ditanam bareng di suatu rumah di Solo, selaku simbol persahabatan. Kebetulan, di erat Gelora 10 Nopember Tambaksari, juga ada suatu tempat yang berjulukan Taman Mundu yang menjadi tempat kongko suporter Bonek.

Perdamaian dimulai dengan suatu pertaruhan besar. Saat itu, untuk mengambarkan keseriusan berdamai, Bonek memanggil Pasoepati untuk hadir ke Surabaya melihat pertarungan Persebaya melawan Solo FC, dalam Liga Primer Indonesia 2011. Pasoepati dengan berani memenuhi anjuran tersebut.

Perdamaian yakni ide dan cita-cita. Ia butuh tangan dan kaki, yang artinya butuh jerih payah untuk mewujudkannya. Mewujudkan 'tangan dan kaki perdamaian', sejumlah perwakilan Bonek Surabaya mengerjakan perjalanan estafet dari kota ke kota di Jawa Timur yang dilalui kereta api yang bakal memuat suporter Pasoepati ke Surabaya.

Perwakilan Bonek Surabaya menemui kelompok-kelompok Bonek di kota-kota itu untuk menyosialisasikan kesepakatan damai, dan meminta mudah-mudahan rombongan kereta api Pasoepati tidak diserang. Di luar dugaan, tak ada resistensi dari Bonek di luar Surabaya. Mereka oke berdamai dan berjanji tak mengerjakan penyerangan.

Di Solo, perwakilan Bonek di sana berpartisipasi dalam kereta api yang ditumpangi Pasoepati untuk berjaga-jaga, jikalau rencana perdamaian memperoleh gangguan di salah satu kota di Jawa Timur.

Hasilnya luar biasa. Ratusan Pasoepati dengan atribut merah dan spanduk besar kesudahannya sanggup hadir kembali di Tambaksari pada Mei 2011, sebagaimana tahun 2000 lalu. Tidak ada bentrokan sebagaimana ditakutkan polisi yang melarang bertengkar Solo FC versus Persebaya digelar di Solo.

Sebagai balas budi, para suporter Pasoepati berjaga-jaga di daerah-daerah yang riskan bentrokan, di saat Bonek mengiringi bertengkar tandang Persebaya ke Jogjakarta. Terakhir, Pasoepati mengantarkan perwakilan dan memasang spanduk bela sungkawa di Gelora Tambaksari Surabaya.

Perdamaian bukan barang sekali jadi. Seperti suatu pohon mundu di Solo, ia butuh disiram terus-menerus dengan 'air komunikasi', dirawat mudah-mudahan tak terjangkit hama 'syak wasangka' dan gulma 'curiga'.

Dari sini, boleh jadi Agus Rizky benar. "Biarkan mereka menyelesaikan duduk permasalahan dengan jiwa suporter, tanpa dicampuri urusan politik."

Penulis : Oryza A. Wirawan
Sumber : http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1116

0 Response to "Jiwa Suporter"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel