Surat Untuk Bonek
Saya tahu, hari ini kalian tengah marah, kecewa. Lima orang dari kalian meninggal dunia, sebagian besar berusia belasan tahun, dan belasan yang lain mengalami luka-luka, di saat melintasi Lamongan. (Saya memperoleh kabar, jumlah korban ini masih sanggup bertambah, dan mudah-mudahan kabar itu salah).
Kalian mungkin marah, alasannya merasa ditipu atau dibohongi: kenapa korban banyak berjatuhan, justru setelah media massa menyiarkan suatu proses menuju perdamaian, antara kalian dengan suporter dari Lamongan.
Kalian mungkin merasa diperlakukan tak adil oleh pegawanegeri keselamatan dan media massa. Saat sebagian dari kalian melakukan tindak kejahatan, itu dijadikan rasionalisasi untuk menyamaratakan kalian selaku kriminal. Saat kalian melakukan langkah-langkah terpuji, tak ada yang peduli.
Kalian berteriak terhadap dunia: 'Kami memang tidak sempurna, sebagaimana lazimnya manusia. Ada di antara kami yang berbuat onar, tetapi banyak juga di antara kami warga yang patuh hukum. Di antara ribuan apel di pasar, senantiasa ada apel yang busuk. Tapi mengapa kami dihentikan memperoleh perlakuan yang adil?'
'Di Jember, ada seorang mitra kami, berbaju Bonek, yang berusia belasan dipukuli hingga tulang tengkorak remuk dan disundut rokok di atas kereta api, cuma alasannya tidak mengeluarkan duit tiket alasannya kekurangan uang. Sementara, penumpang lain yang tak punya tiket pula sanggup bermain mata dengan oknum petugas sepur, atau cuma diturunkan baik-baik di stasiun terdekat.'
Kalian berteriak terhadap dunia: 'Kenapa media massa lebih senang menyiarkan sebagian dari kami melakukan kejahatan, ketimbang bercerita wacana ribuan dari kami sanggup berdamai dengan suporter Bandung, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, dan menetralisir dendam lama? Apakah suatu tenang tak lagi menawan di tengah Indonesia yang karut-marut alasannya omong kosong politik?'
Ya, memang orang banyak sering lupa (atau sengaja lupa, entahlah), bahwa sebagaimana komunitas yang lain, wajah Bonek tak pernah tunggal. Ia beragam. Ada seorang mitra saya, seorang pegawai negeri sipil, yang menyebabkan lagu 'Iwak Peyek' model stadion selaku nada dering ponselnya. Ada seorang pengasong bakso di Jember yang menempelkan merek 'Bakso Bonek' untuk dagangannya.
Orang banyak mungkin tak tahu (atau sengaja akal-akalan tidak tahu, entahlah), bahwa tak selamanya Bonek berasal dari kelompok bawah. Mereka yang dari kelompok bawah pun tak selamanya menjarah, sebagaimana tak selamanya ada jaminan pebisnis kaya raya dan politisi di negeri ini tidak berlaku korup dan mengemplang pajak.
Ada Bonek yang dari kelompok bawah rela memasarkan barang milik mereka cuma untuk menonton Persebaya, dan bukannya mencopet atau merampok, sebagaimana yang pernah disebut-sebut Karni Ilyas di suatu program di TV One.
Subkultur kekerasan bukanlah langsung milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang menyantap banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tetapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuhan atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.
Kebiasaan bangun di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laris khas kalian. Di Jakarta, saban hari di saat jam kerja, senantiasa ada orang-orang yang menegaskan berada di atap gerbong kereta api ketimbang berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.
Berebut untuk memperoleh barang gratis dan murah tak selamanya sanggup dilekatkan selaku sikap khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desakan hingga pingsan dan berkelahi, cuma untuk menemukan Blackberry dengan harga yang 'masya Allah' murahnya. Atau rela berdesak-desakan untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai, dan setelah itu pergi ke pasar berbelanja baju atau barang konsumtif, ketimbang menyimpannya untuk hal lain yang lebih berguna.
Pada akhirnya, Bondo Nekat yakni suatu semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, berulang kali menyebut kata 'Bonek' atau 'Bondo Nekat' dalam memoarnya wacana Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.
Seseorang tak sanggup diadili cuma alasannya semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang semestinya diadili alasannya apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.
Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir duit negara. Namun kita tak sanggup mengadili seseorang cuma alasannya beliau kelompok suporter A, B, atau C; atau cuma alasannya beliau memiliki kepercayaan X, Y, atau Z.
Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada kesudahannya mungkin akan berteriak: 'kami tak lagi peduli. Lima kerabat kami sudah mati. Kami akan menuntut balas'.
Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak gampang memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang pantas memberi pesan yang tersirat itu, pasti saja. Tapi selaku orang biasa, warga negara Indonesia, saya pasti boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.
Pembalasan dendam cuma akan menimbulkan korban gres tidak bermanfaat dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, utamanya yang tinggal di Surabaya, bukanlah lawan kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan murka dengan maut tidak bermanfaat itu. Pada dasarnya, maut bawah umur berusia belasan tahun tersebut yakni sedih kemanusiaan, yang menjamah hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.
Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tetapi hari ini kita semua tahu, kalian sanggup akrab dengan suporter Jogjakarta.
Saya percaya, suatu di saat kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, alasannya peristiwa atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya senantiasa percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan senantiasa mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.
Saya ingat Emha Ainun Najib pernah berkata: maut bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk menentukannya. Saya percaya, kalian pasti tak akan mengambil hak Tuhan itu dengan memperpanjang daftar korban baru.
Kalian mungkin marah, alasannya di saat sebagian dari Bonek berbuat kriminal (termasuk membunuh suporter lain), polisi bertindak cepat menangkap pelakunya. Saat sebagian dari Bonek melakukan kejahatan, pegawanegeri keselamatan bertindak tangkas membekuknya.
Kalian kemudian bertanya: ke mana pegawanegeri keselamatan berjaga, di saat lima dari kalian mati dalam suatu perjalanan maut di atas kereta api barang? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya, polisi tak akan membiarkan peristiwa ini rahasia tanpa pengusutan.
Kawan, dunia bukan surga. Tapi mungkin justru itu yang menghasilkan dunia dihargai: ia ada alasannya ikhtiar bersama. Ia ada alasannya kita senantiasa sanggup memperbaiki harapan.
Seperti suatu pengaruh kepak sayap kupu-kupu, satu kebaikan dan kebajikan di Surabaya, akan berbuah baik di suatu tempat, ribuan mil dari kota kalian.
Saya percaya, kalian senantiasa berupaya lebih baik, walau pun tak banyak yang hendak mencatat dan mengabarkannya. Saya percaya, alasannya justru kalian menyadari: bahwa kalian tidak sempurna, alasannya yang cocok cuma ada di Atas Sana.
Jika suatu di saat kalian letih dan tak mempercayai apapun lagi, maka camkan sebatang pohon mundu di suatu rumah di Solo, ratusan kilometer dari Surabaya. Pohon yang ditanam bareng oleh kalian dan suporter Pasoepati Solo dengan itikad baik dan keyakinan: bahwa dalam diri manusia, tak selamanya gelap, alasannya di sana juga ada terang. Dan dari situ, kita boleh berharap.
Penulis : Oryza A. Wirawan
Sumber : http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1115
Terima kasih Cak Oryza, Bonek besar bukan alasannya media, tetapi media besar alasannya Bonek. Semoga kedepannya, adik-adik saya, para penerus generasi Bonek sanggup menjadi penulis-penulis yang luar biasa menyerupai Cak Oryza.
SALAM 1 NYALI, WANI!!!
Kalian mungkin marah, alasannya merasa ditipu atau dibohongi: kenapa korban banyak berjatuhan, justru setelah media massa menyiarkan suatu proses menuju perdamaian, antara kalian dengan suporter dari Lamongan.
Kalian mungkin merasa diperlakukan tak adil oleh pegawanegeri keselamatan dan media massa. Saat sebagian dari kalian melakukan tindak kejahatan, itu dijadikan rasionalisasi untuk menyamaratakan kalian selaku kriminal. Saat kalian melakukan langkah-langkah terpuji, tak ada yang peduli.
Kalian berteriak terhadap dunia: 'Kami memang tidak sempurna, sebagaimana lazimnya manusia. Ada di antara kami yang berbuat onar, tetapi banyak juga di antara kami warga yang patuh hukum. Di antara ribuan apel di pasar, senantiasa ada apel yang busuk. Tapi mengapa kami dihentikan memperoleh perlakuan yang adil?'
'Di Jember, ada seorang mitra kami, berbaju Bonek, yang berusia belasan dipukuli hingga tulang tengkorak remuk dan disundut rokok di atas kereta api, cuma alasannya tidak mengeluarkan duit tiket alasannya kekurangan uang. Sementara, penumpang lain yang tak punya tiket pula sanggup bermain mata dengan oknum petugas sepur, atau cuma diturunkan baik-baik di stasiun terdekat.'
Kalian berteriak terhadap dunia: 'Kenapa media massa lebih senang menyiarkan sebagian dari kami melakukan kejahatan, ketimbang bercerita wacana ribuan dari kami sanggup berdamai dengan suporter Bandung, Semarang, Jogjakarta, Solo, Makassar, dan menetralisir dendam lama? Apakah suatu tenang tak lagi menawan di tengah Indonesia yang karut-marut alasannya omong kosong politik?'
Ya, memang orang banyak sering lupa (atau sengaja lupa, entahlah), bahwa sebagaimana komunitas yang lain, wajah Bonek tak pernah tunggal. Ia beragam. Ada seorang mitra saya, seorang pegawai negeri sipil, yang menyebabkan lagu 'Iwak Peyek' model stadion selaku nada dering ponselnya. Ada seorang pengasong bakso di Jember yang menempelkan merek 'Bakso Bonek' untuk dagangannya.
Orang banyak mungkin tak tahu (atau sengaja akal-akalan tidak tahu, entahlah), bahwa tak selamanya Bonek berasal dari kelompok bawah. Mereka yang dari kelompok bawah pun tak selamanya menjarah, sebagaimana tak selamanya ada jaminan pebisnis kaya raya dan politisi di negeri ini tidak berlaku korup dan mengemplang pajak.
Ada Bonek yang dari kelompok bawah rela memasarkan barang milik mereka cuma untuk menonton Persebaya, dan bukannya mencopet atau merampok, sebagaimana yang pernah disebut-sebut Karni Ilyas di suatu program di TV One.
Subkultur kekerasan bukanlah langsung milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang menyantap banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tetapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuhan atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.
Kebiasaan bangun di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laris khas kalian. Di Jakarta, saban hari di saat jam kerja, senantiasa ada orang-orang yang menegaskan berada di atap gerbong kereta api ketimbang berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.
Berebut untuk memperoleh barang gratis dan murah tak selamanya sanggup dilekatkan selaku sikap khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desakan hingga pingsan dan berkelahi, cuma untuk menemukan Blackberry dengan harga yang 'masya Allah' murahnya. Atau rela berdesak-desakan untuk memperoleh Bantuan Langsung Tunai, dan setelah itu pergi ke pasar berbelanja baju atau barang konsumtif, ketimbang menyimpannya untuk hal lain yang lebih berguna.
Pada akhirnya, Bondo Nekat yakni suatu semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, berulang kali menyebut kata 'Bonek' atau 'Bondo Nekat' dalam memoarnya wacana Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.
Seseorang tak sanggup diadili cuma alasannya semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang semestinya diadili alasannya apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.
Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir duit negara. Namun kita tak sanggup mengadili seseorang cuma alasannya beliau kelompok suporter A, B, atau C; atau cuma alasannya beliau memiliki kepercayaan X, Y, atau Z.
Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada kesudahannya mungkin akan berteriak: 'kami tak lagi peduli. Lima kerabat kami sudah mati. Kami akan menuntut balas'.
Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak gampang memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang pantas memberi pesan yang tersirat itu, pasti saja. Tapi selaku orang biasa, warga negara Indonesia, saya pasti boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.
Pembalasan dendam cuma akan menimbulkan korban gres tidak bermanfaat dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, utamanya yang tinggal di Surabaya, bukanlah lawan kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan murka dengan maut tidak bermanfaat itu. Pada dasarnya, maut bawah umur berusia belasan tahun tersebut yakni sedih kemanusiaan, yang menjamah hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.
Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tetapi hari ini kita semua tahu, kalian sanggup akrab dengan suporter Jogjakarta.
Saya percaya, suatu di saat kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, alasannya peristiwa atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya senantiasa percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan senantiasa mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.
Saya ingat Emha Ainun Najib pernah berkata: maut bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk menentukannya. Saya percaya, kalian pasti tak akan mengambil hak Tuhan itu dengan memperpanjang daftar korban baru.
Kalian mungkin marah, alasannya di saat sebagian dari Bonek berbuat kriminal (termasuk membunuh suporter lain), polisi bertindak cepat menangkap pelakunya. Saat sebagian dari Bonek melakukan kejahatan, pegawanegeri keselamatan bertindak tangkas membekuknya.
Kalian kemudian bertanya: ke mana pegawanegeri keselamatan berjaga, di saat lima dari kalian mati dalam suatu perjalanan maut di atas kereta api barang? Saya tidak tahu. Tapi saya percaya, polisi tak akan membiarkan peristiwa ini rahasia tanpa pengusutan.
Kawan, dunia bukan surga. Tapi mungkin justru itu yang menghasilkan dunia dihargai: ia ada alasannya ikhtiar bersama. Ia ada alasannya kita senantiasa sanggup memperbaiki harapan.
Seperti suatu pengaruh kepak sayap kupu-kupu, satu kebaikan dan kebajikan di Surabaya, akan berbuah baik di suatu tempat, ribuan mil dari kota kalian.
Saya percaya, kalian senantiasa berupaya lebih baik, walau pun tak banyak yang hendak mencatat dan mengabarkannya. Saya percaya, alasannya justru kalian menyadari: bahwa kalian tidak sempurna, alasannya yang cocok cuma ada di Atas Sana.
Jika suatu di saat kalian letih dan tak mempercayai apapun lagi, maka camkan sebatang pohon mundu di suatu rumah di Solo, ratusan kilometer dari Surabaya. Pohon yang ditanam bareng oleh kalian dan suporter Pasoepati Solo dengan itikad baik dan keyakinan: bahwa dalam diri manusia, tak selamanya gelap, alasannya di sana juga ada terang. Dan dari situ, kita boleh berharap.
Penulis : Oryza A. Wirawan
Sumber : http://beritajatim.com/sorotan.php?newsid=1115
Terima kasih Cak Oryza, Bonek besar bukan alasannya media, tetapi media besar alasannya Bonek. Semoga kedepannya, adik-adik saya, para penerus generasi Bonek sanggup menjadi penulis-penulis yang luar biasa menyerupai Cak Oryza.
SALAM 1 NYALI, WANI!!!
0 Response to "Surat Untuk Bonek"
Post a Comment